Berakhir di RS

Setelah magrib, hujan lebat melanda seluruh Pekanbaru bukan main lebatnya, hingga air mulai naik di pekarangan rumah, hingga tingginya mendekati 2/3 tinggi tanggul pintu rumah. Rumah kami yang lebih rendah dari jalan memang mudah sekali kebanjiran dibandingkan rumah lain di perumahan kami ini karena dibangun sebagai rumah contoh di tahun-tahun 2008an. Di belakang rumah, talang air dari atap yang terhubung ke kamar mandi juga tidak sanggup menahan derasnya volume air hingga kepenuhan dan mulai membanjiri kamar mandi. Suami terjebak hujan entah dimana dan belum juga pulang. Aku mulai panik.

Satu persatu barang-barang mulai dinaikkan. Aku dan 2 anak bujang kami cepat-cepat menaikkan barang. Air makin tinggi di depan. Air makin deras keluar dari talang air di belakang. Sewaktu mengecek di belakang, ternyata saluran air kamar mandi tersumbat oleh sampah sachet shampo dan entah apa lagi. Kuraih dan kubersihkan, tapi volume air dari talang yang tumpah dengan deras sepertinya sungguh tidak bisa lagi tertahan hingga mulai membanjiri kamar mandi. Satu-satunya jalan adalah membuka tutup saluran air pembuangan kamar mandi. Kucoba tarik dengan menggunakan lidi. Tidak bisa. Tambah lidi,tetap tidak bisa. Air terlalu banyak mengalir sehingga tutupnya tertahan kuat.
Waktu kian terbatas. Semakin lama air akan terus naik dengan cepat. Aku panik.

Kuraih tutup saluran air itu dengan jari tangan dan kutarik kuat. Terbuka! Air bergerak bebas dan mulai surut dari kamar mandi. Tapi... Nyut. 
Ngilu mulai terasa di jari. Shit. 
Tutup itu tidak bisa ditarik dari jariku. Aku baru sadar, tutup itu setajam penegak besi tipis pada obat nyamuk hijau yang melingkar.
Ya Tuhan! Saking paniknya aku lupa betul bahwa tutup ini setajam silet! 
Darah mulai mengucur dari jariku, tapi tutup ini sama sekali tidak memberi ampun.
Jariku terjepit! Rasa ngilu tadi berubah jadi rasa sakit yang nyata. Aku betul-betul panik.
Setengah berteriak pada anak bungsuku, Boo si kelas 3 SD, untuk mengambil kapas dan menjelaskan situasinya. "Tangan Bunda luka, Nak, tolong ambilkan kapas yang banyak!" Alam bawah sadarku mulai mengambil alih. Aku harus jaga ketenanganku supaya anak-anak tidak histeris. Kapas kutekan ke bagian luka, dan aku periksa apakah ada yang bisa kulakukan agar tutup ini bisa kukeluarkan dari jariku. Otakku sangat kewalahan. Satu sisi aku harus memikirkan kasur yang belum dinaikkan karena air di depan rumah mulai mendekati batas tanggul rumah. Sisi yang lain aku harus lakukan apa supaya jariku ini bisa lepas. 
"Kasur harus kita naikkan, Nak. Tapi Bunda nggak bisa angkat. Boo dan Bee bisa angkatnya? Kerjasama ya.Kita harus cepat, air makin naik!" kataku dengan suara bergetar, setengah menangis dan wajah yang menahan sakit.
Kubantu arahkan apa yang harus dilakukan pada mereka berdua. Dan mereka dengan cepat melakukannya. Kubantu aba-aba menghitung satu sampai tiga. Dua kasur kami berhasil diangkat! Selesai! 

Sekarang yang dipikirkan, bagaimana caranya agar aku bisa mendapat pertolongan. Beruntung suamiku berhambur pulang dengan keadaan basah kuyup. Bahuku yang terlalu tegang agak sedikit lega melihat kehadirannya. Dia lebih panik lagi. Matanya begitu shock. Saking paniknya hampir saja ia menarik tutup air sialan itu tanpa ba bi bu. Setengah berteriak, "Jangan ditarik, nanti jari Bunda putus! Ayah sedang panik, bernafas dulu. Tenang! Hembuskan nafas pelan-pelan... " 
Ia melakukannya. 
"Kita minta tolong abang sebelah ya!" katanya. 
"Pakai jilbab tangan Bunda!" (Jilbab tangan = jilbab instan yang sekalian memiliki lengan, berfungsi untuk menutup tangan ketika hanya memakai baju lengan pendek) 
Lalu sekitar 2-3 orang bapak-bapak tetangga datang dalam keadaan bermantel dan berhujan-hujanan. Membawa tang besi. Ketika tang itu mulai dicoba untuk membuka tutup yang menjepit jari ini, sakit lagi karena digoyang-goyang. Aku tahu ini tidak bisa dilakukan. "Harus ke rumah sakit ini bang," kataku pasrah. Kapas yang sedari tadi kutekan mulai memadat karena darah. Masih ngilu bukan main. Kuminta tolong Boo mengambil kapas lagi. 
Lalu tetangga kami bergegas mengambil mobilnya. 
Aku mengarahkan anak-anak. "Kalian pakai baju (karena masih pakai singlet) lalu pakai jaket, Bunda harus kerumah sakit. Ikut Bunda. Uda (panggilan untuk suamiku), masukkan motor, ambil HP Bunda dan masukkan ke tas, bawa tas Bunda."

Mentalku yang sudah sangat melorot hingga dengkul, memaksa tubuhku naik ke mobil bersama anak2 dan suami. Pasrah. Hujan tidak berkurang intensitasnya, masih deras seperti pertama kali turun. Kutinggalkan rumah dan kupasrahkan ia banjir jika memang harus banjir. Bajuku setengah basah, dan aku tidak memakai sendal. Di saat itu aku teringat pahala terakhir apa yang sudah kukerjakan. 

Mobil menerjang air yang kian tinggi di jalan utama. Bunyi gemeresik air yang bertabrakan dengan bodi mobil membuat hatiku makin menciut kerdil diiringi rasa ngilu kian menjadi dari jariku. Tangan kiriku yang satu lagi kebas karena menahan kapas yang memerah.
Hari ini betul-betul gila. 

Sesampainya di balai pengobatan dekat rumah, memanggil-manggil penghuninya disana cukup lama hingga bajuku basah kuyup oleh hujan yang berubah-rubah arah oleh angin. Ia tidak berani mengobati jariku karena tidak ada peralatan yang memadai. Lalu suami dan tetangga memutuskan ke RS terdekat, sambil mengira-ngira rute mana yang bisa dilalui dan tidak banjir.
Mobil pun dikebut. Akuuu ingin sekali beristirahat. Terlalu ngilu. 

Sesampainya di RS, kami segera turun. Anak-anak menunggu di mobil. Dibaringkan di tempat tidur IGD, aku mulai memikirkan biaya rumah sakit, ketika seorang perawat bertanya pada suamiku, "Bapak ada BPJS?" Bebanku terangkat setengah. Aku seorang ibu disiplin yang membayar BPJS tiap bulan tepat waktu tanpa denda, yang dulu pertama kali bersitegang pada suami untuk punya BPJS setelah si bungsu pernah dijahit 2 kali di kepala dan harus membayar nominal yang lumayan. Kali ini BPJS itu bukan saja menolong anaknya yang panas tinggi di tengah malam buta berangkat dengan motor ke RS disaat suaminya keluar kota, kali ini giliran si ibu yang cerewet yang sok bersikap tenang disaat kulit jarinya bisa terkoyak saat itu juga. Tuhan memang tidak tidur. 

Perawat bergantian datang memberi suntikan apapun itu. Aku pura-pura tidak mendengar ketika seorang perawat lelaki berkata pada sejawatnya, "Hati-hati ya pasang infusnya, ibu ini pembuluh darahnya mudah sekali pecah." 
Ingin sekali kusentil amandelnya.

Menunggu lamaaaa sekali dan suamiku lamaaa sekali kelihatan lagi, akhirnya aku dibawa dengan kursi roda ke meja operasi. Tubuhku gemetar. Darah di jariku mulai berhenti. Sedikit kulitku yang terkoyak membuatku bergidik ngeri. Tutup air sialan. 

Aku menunggu lamaaaa sekali di depan kamar operasi. Suara tangisan bayi baru lahir menyambutku. Ia dipanaskan dengan lampu panggung kecil berwarna kuning sebagai penghangat. Otakku pandai sekali mengalihkan rasa sakit. Ia membawaku ke dalam memori kelahiran dua bayiku. Yang satu membuatku muntah kuning dan bergetar hebat lalu melihat ia menangis di balik kain hijau operasi. Yang satu lagi datang dibawa perawat setelah aku sadar dari bius dan langsung bisa menyusu dariku. Lamunanku tersentak ketika ayah si bayi masuk dan mulai video call keluarganya. "Selamat ya sudah jadi bapak" kataku dalam hati. 
Aku kembali ke realita ketika perawat menyuruhku ganti baju operasi. Tubuhku lunglai minta diselamatkan. 

Kursi roda didorong menuju meja operasi. Lampu besar-besar dan layar monitor detak jantung. Suasana yang seharusnya familiar bagiku. Tapi berapa kalipun seringnya, meja operasi tidak pernah menenangkan. Terlebih ketika dokter berkata, "Ibu, mulai berdoa ya supaya operasinya lancar" 

"Dooook" 😭

Dokter mulai bekerja, obat bius disuntikkan lalu rasa nyeri menjalar hebat ditangan kiriku. Hitam dan gelap. 



"Dok" itu kata pertama yang bisa kuucapkan ketika bius mulai hilang. Setelah itu muncul rasa nyeri kuat di jariku dan aku menyeru. "Sudah, ini udah selesai" dokter di sebelah kananku menenangkan. 

Deru roda tempat tidur membawaku ke kamar asing dengan mata yang belum bisa kubuka sepenuhnya. Pembicaraan antar perawat sayup-sayup kudengar. 

Jam 1 malam. Lambat laun sadar dari pengaruh bius dan sakitnya tidak seperih tadi, nyaris hilang tapi berdenyut-denyut. Infus masih terpasang dan tubuhku lelah. Aku ingin tidur tapi tidak bisa, suara pelan youtube dan ngobrol riuh rendah sesama penghuni kamar, tetap berisik bagiku. 
Aku hanya ingin suamiku. Suamiku tadi kupaksa pulang, bawa anak-anak istirahat dirumah. Padahal diri sendiri juga butuh. 
Aku ingin anak-anak malam ini di tempat tidur yang nyaman, setelah hari berat yang mereka lalui. 
Kadang hati ibu lebih mencemaskan perasaan anak-anaknya di saat ia juga cedera. 

Paginya suamiku datang. Aku sudah sarapan. Satu-satunya yang aku suka dari Rumah Sakit hanyalah makanannya.


Siangnya masih berkoordinasi dengan admin untuk chat pelanggan. Seharian tidak mengerjakan apa-apa seperti ini boleh juga. Mungkin memang seharusnya aku istirahat. 
Kuhabiskan dengan tidur, tidur dan tidur.

Lusa, aku sudah bisa pulang. Lukaku tidak nyeri lagi. Dibekali obat-obatan aku pulang, lega menggandeng suami. 

Sesampainya dirumah, Boo bertanya, "Tutup air kamar mandinya mana Bunda? Nggak tertutup lubang kamar mandi kita." 
Tutup air sialan. 




Komentar

Postingan Populer