Someone Who Stays To Watch Me Burn - Part 4: Healing After Abuse
(Disclaimer)
Tulisan ini diperlukan kebijaksanaan dan pikiran terbuka dari
pembacanya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menolong dan membuka hati
bagi siapapun yang berkaitan dengan penganiayaan terlebih pada
anak-anak, baik pelaku, korban, tetangga, dan orang terdekat untuk
mengambil langkah untuk menghentikannya.
Saya selalu bertanya-tanya mungkinkah Malin Kundang sebegitu jahatnya pada ibunya sendiri? Bagaimana jika Malin Kundanglah korban dari penyakit mental ibunya sehingga ia begitu trauma melihat si ibu? Bagaimana jika si ibulah yang durhaka lalu Malin Kundang berdoa dijadikan batu supaya tidak bertemu ibunya lagi? Bagaimana jika cerita bahwa Malin Kundang menendang ibunya hanyalah cerita palsu yang diceritakan ibunya pada seluruh warga kampung demi menarik simpati dan membuat posisi Malin Kundang menjadi si jahat?
***
Saya selalu bertanya-tanya mungkinkah Malin Kundang sebegitu jahatnya pada ibunya sendiri? Bagaimana jika Malin Kundanglah korban dari penyakit mental ibunya sehingga ia begitu trauma melihat si ibu? Bagaimana jika si ibulah yang durhaka lalu Malin Kundang berdoa dijadikan batu supaya tidak bertemu ibunya lagi? Bagaimana jika cerita bahwa Malin Kundang menendang ibunya hanyalah cerita palsu yang diceritakan ibunya pada seluruh warga kampung demi menarik simpati dan membuat posisi Malin Kundang menjadi si jahat?
Saya selalu suka versi Malin Kundang yang itu. Atau… sayalah Malin Kundang versi korban narsistik itu.
Ketika saya memutuskan lari dari rumah, saya menerima resiko bahwa saya akan dijadikan Malin Kundang oleh ibu. Saya akan menerima resiko apapun agar tidak perlu bertemu ibu saya lagi. Kurang durhaka apalagi coba?
Sungguh sulit orang lain melihat sudut pandang dari kacamata anak-anak korban kekerasan narsistik. Seumpama seperti kita melihat ke jendela sebuah rumah dimana seorang anak kecil yang meronta-ronta memukuli ibunya. Orang lain hanya memandang dari sudut pandang itu.
Orang lain tidak melihat bahwa di balik dinding dan jendela tertutup, anak kecil tersebut baru saja ditenggelamkan kepalanya oleh sang ibu di bak mandi.
Jika si anak meminta pertolongan keluar rumah, si ibu akan tergopoh-gopoh menyusul dan bercerita pada orang bahwa anaknya benar-benar nakal dan tidak mau menurut tidak mau makan, sebelum si anak bercerita.
Jika si anak bercerita bahwa ia ditenggelamkan, si ibu akan segera menyangkal bahwa itu kelalaian si anak sehingga ia tenggelam di bak mandi, dan si ibu berusaha menyelamatkannya.
Jika si anak bercerita bahwa ibunyalah yang menenggelamkannya, si ibu akan bercerita bahwa ia begitu sulit membesarkan si anak karena tidak mau menurut, ia sudah sudah payah membuat masakan untuk si anak, dan si anak tetap tidak mau makan. Menenggelamkannya adalah kekhilafan semata dan seharusnya dimaafkan.
See? Tidak pernah ada jalan keluar mendapatkan keadilan bagi anak-anak korban narsisistik, selagi ia hidup bersama si pelaku.
Hidup sekian lama dengan kondisi demikian membuat anak-anak sulit membedakan apa yang benar dan salah. Semua samar mengenai tingkah laku, cara berinteraksi, memandang orang lain dan terlebih, memandang dirinya sendiri.
Tinggal bersama narsisistik'menciptakan' anak-anak yang memiliki kepribadian yang kacau. Ya, saya tumbuh dengan karakter aneh yang sulit dipahami orang lain. Introvert kalau bahasa canggihnya.
Ketika saya sadar bahwa kehidupan yang saya tahu hanya kepalsuan, lalu apa selanjutnya? Saya merasa kosong. Lalu saya ini apa? Semua yang saya tahu seumur hidup saya hanyalah kebohongan semata.
Disinilah fase HEALING dimulai. Di fase inilah menentukan masa depan korban narsisistik. Jika salah mengenali diri dan menyikapi, disinilah seorang narsisistik baru dilahirkan. Korban narsistik memiliki bibit besar untuk menjadi seorang narsistik. Pelaku kekerasan berikutnya.
Lima fase healing menurut Kubler-Ross model (five stages of grief) : penyangkalan (denial), kemarahan (anger), bargaining, depresi (depression) dan penerimaan (acceptance).
FASE PENYANGKALAN
Setelah saya meninggalkan rumah, saya mulai meragukan tindakan saya. Bahwa sebenarnya segala ketakutan dan kemarahan dalam diri saya hanyalah pikiran saya semata. Bahwa sebenarnya ibu saya sangat mencintai saya.
Saya mulai ingin kembali ke rumah.
Tapi saya mencoba menunggu.
Saya tak ingin kalah dari perasaan. Logika. Logika. Logika.
Saya membuat syarat pada diri sendiri. Jika benar ibu saya mencintai saya, ia akan menelpon. Jika dalam 7 hari ia tidak menelpon, berarti ia tidak mencemaskan saya. Cukup sebagai bukti bahwa ia memang tidak mencintai saya. Tak ada alasan untuk kembali.
FASE KEMARAHAN
Seminggu berlalu dan harapan saya menerima telpon dari ibu, pupus sudah. Saya mulai marah, kenapa ibu saya tega. Kenapa ia tidak mencari saya. Bukankah hal mudah, hanya menanyakan saya ke kantor atau teman-teman dekat?
FASE PENAWARAN
Mungkin ibu saya cemas dan kuatir. Bagaimana jika saya menelponnya? Ia pasti akan menyuruh saya kembali.
FASE DEPRESI
Pada akhirnya, saya tidak menelpon. Bukankah sudah ada bukti bahwa ia tidak mencintai saya?
Ia telah melakukan hal-hal buruk yang tidak bisa dibayangkan orang lain dapat dilakukan. Ia menghina, mengutuk, mencaci-maki saya sedemikian rupa hingga saya tidak merasa berharga menjadi seorang manusia.
Ia berbohong dalam segala hal yang ia bisa.
Disinilah fase terlama yang harus saja jalani.
Post Trauma Stress Disorder. PTSD.
Perlu tujuh tahun lamanya bagi saya untuk bisa ke fase berikutnya.
FASE PENERIMAAN
Ya, saya telah menjalani segala macam keburukan di masa lalu. Saya telah menikah dan dikaruniai anak-anak ganteng.
Tak ada gunanya meratapi. Yang paling penting sekarang, mau jadi apa saya? Jadi ibu seperti apa? Jadi istri seperti apa?
Apa yang bisa saya lakukan agar berguna buat orang lain?
Saya telah rusak, lalu bagaimana saya memperbaikinya?
Ibu saya akan tetap narsistik sampai kapanpun. Bagaimana cara saya mengatasinya? Bagaimana cara saya melindungi anak-anak dan suami dari imbas dan dampak narsisis itu, baik dari saya maupun ibu?
Bagaimana caranya agar saya tidak lahir menjadi narsistik baru?
Pertanyaan-pertanyaan dasar inilah yang membimbing dan menuntun saya dalam penyembuhan trauma.
Tidak ada kata mudah.
Selalu lebih mudah untuk menyerah.
Pada akhirnya, saya tak lagi bertanya kenapa hal ini terjadi pada saya atau kenapa orang yang seharusnya menyayangi tega melakukan ini.
Yang paling utama dan terpenting adalah K E E P M O V I N G F O R W A R D.
Semua ini telah terjadi, tidak bisa kembali. Apa yang selanjutnya dilakukan untuk memperbaiki diri yang sudah rusak? Mencegah hal ini mengubah diri menjadi narsistik pula? Dan apa yang akan dilakukan agar masa depan kita lebih baik, setelah semua tempaan begitu keras yang tidak semua orang mengalaminya? Saya yakin ada hikmah yang jauh lebih besar.\
Namun, bukan berarti pelaku kekerasan akan dibiarkan begitu saja. Terakhir saya dipukuli, akhirnya saya memberanikan diri mengumpulkan bukti kekerasan (foto diri). Setiap manusia dilindungi hukum.
Jadi ketika di lingkungan kita ada orang tua yang memukuli anaknya, dan kita takut menegur karena menganggap itu urusan mereka? Ketika KDRT sudah terjadi, itu telah melanggar hukum.
Jangan biarkan alasan segan karena Angeline mati mengenaskan dikuburkan di bawah kandang ayam karena tetangga dan guru segan untuk menegur dan diam.
Menganiaya baik fisik dan verbal berarti sudah termasuk urusan hukum, bukan lagi 'bukan urusan kita'.
~ Bahasan berikutnya adalah Sindrom Cinderella, sindrom yang juga menyerang saya selain PTSD.
Someone Who Stays To Watch Me Burn : Part 1 - PTSD
Someone Who Stays To Watch Me Burn : Part 2 - Narcissist Mom
Someone Who Stays To Watch Me Burn : Part 3 - Narcissist Wife
Someone Who Stays To Watch Me Burn : Part 4 - Healing After Abuse
I don't know what to say but I really appreciate you sharing it with us. Saya yakin tidak mudah bagi mereka yang menjadi korban untuk step up and tell the crowd bahwa yang salah adalah orang tua. KDRT dan child abuse is a big no - no dan again, I admire you for being brave and move on progressively from your traumatic childhood..
BalasHapusMakasih supportnya mbak Indah..dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
HapusSpeechless...
BalasHapusKeep moving ya mbak....salut untuk big step yang mbak ambil untuk healing dan tak ingin mengulang kesalahan pd generasi berikutnya
BalasHapusMakasih supportnya mbak Riawani...dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
Hapustetap semangat ya mba...speeechless jg..
BalasHapusMakasih supportnya mbak Kania...dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
HapusSelalu saja menahan nafas setiap membaca kisah mba Mayya mengenai ini, ada sesak dan berjuta penasaran... apa yang terjadi, knp bisa seorang ibu demikian, apa latar belakang ibu hingga begitu tega pada anaknya. Dan luar biasanya mba Mayya tersembuhkan... tetap menjadi istri dan ibu yg hebat ya mba *peluk
BalasHapusAku rasa seburuk apapun kondisi dan latar blkg kita, bukankah aneh melampiaskannya pada org2 yg mencintai kita?Makasih supportnya mbak Irma...dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
HapusSubhanallah sungguh dibutuhkan keberanian untuk speaking up dan mengungkap masa lalu yang suram Mba Mayya. Tapi dibutuhkan lebih banyak keberanian, usaha dan keyakinan yang kuat untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Peluk sayang... O iya kalau butuh soul healer saya ada kenalan, coba cek di salah satu postingan saya di sini
BalasHapushttp://www.titialfakhairia.blogspot.co.id/2015/10/bagaimana-menghadapi-kemelut-rumah.html
Makasih infonya mbak. Sebenarnya korban seperti saya harus terapi psikolog, dan mmg butuh informasi ini.Makasih supportnya mbak Titi...dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
Hapussesak napasku membacanya, apalagi mba mayya yang mengalami ya, menulis ini termasuk tahap moving forward ya mba, doaku untukmu mba..Alhamdulillah sudah berhasil melewatinya...
BalasHapusMakasih supportnya mbak Dewi Rieka..dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
Hapusmemaafkan ibu lebih..baik..walau butuh waktu tujuh tahun...., dari pada mendendam selamanya.....
BalasHapusIya benar mbak Nova, dendam apalagi pada ibu sendiri tidak baik. Sulit tapi berusaha terus menata hati.
HapusSaya salut sama perjuangan Mbak Eka Putri dan healing therapynya. Semoga semakin dikuatkan oleh Allah ya mbak :) Semoga hal tersebut tdk terulang lagi pada generasi selanjutnya :D
BalasHapusMakasih supportnya mbak Arinta...dan makasih udah meluangkan waktu utk membaca ya!
HapusIni saya lagi baca part 1 ampe 3. Tadi agak lola soalnya sinyal internet saya :D
BalasHapusKarena ini udah part 4 dan aku ga tau cerita sebelumnya, jadi tadi aku baca dulu semua part-nya, sampe akhirnya selesai baca yang ini. Dan sekarang, aku jadi speechless. Dont know what to say, Mbak May. Kamu cukup berani nulisin ceritamu ini. Aku cuma takut kalau2 ada orang lain yang baca, dan kenal sama ibumu, itu gimana? Apa mereka akan ceritain ke ibumu, atau malah diam aja? Ah, aku terlalu takut. :((
BalasHapusAku udah takut selama 23 tahun. Menulis ini dan diketahui ibuku nggak akan setakut ketika aku diseret dan dijambak turun dari tangga dan ditendangi di bagian wajah, mbak. Mbak pernah merasakan takut seperti itu hingga ingin cepat mati? Aku ingin semua orang tahu bahwa kekerasan pada anak itu nyata dan kita harus lebih peduli. Ingin diceritakan yang baik? Perlakukan orang lain dengan baik pula! Nggak usah takut, Mbak...Aku udah tau resikonya sejak awal berani bercerita...
Hapusgak bisa berkata apa-apa mbak :(
BalasHapussemoga selalu kuat dan kita semua dijauhkan dari tindakan seperti ini, amin..
Amin mbak Irawati...
HapusSemoga semakin banyak ibu - ibu yang mengerti arti kasih sayang yg sebenarnya. Titipan Tuhan (anak) bukanlah hal main - main. Ada tanggung jawab besar yang akan dipertanyakan kelak, maka wajarlah jika anak menuntut kasih sayang tulus, wajarlah jika orang tua berkewajiban (tanpa syarat apapun) memberikan cinta sepenuh hati, sepenuh jiwa pada anak2nya.
BalasHapusapa pun yang terjadi pada diri Mbak, yakinlah kalau Allah selalu menyayangi kita : )
BalasHapus