[Berani Cerita #14] Tambara
"Kurang ajar! teriakan Mak Isni membuatku terlonjak ketika tanganku sibuk menggumuli cucian di belakang rumah.
Mak Isni tergesa-gesa menjangkau sapu di dekat dapur dan bergegas kembali ke depan.
"Ada apa, Mak?"
"Itu! Kucingnya Pakde Narto sebelah! Bisa-bisanya kucing hitam bulukan itu mencuri lagi ikan goreng! Coba saja kalau kulihat lagi!"
"Sudahlah, Mak! Jangan gara-gara kucing, Mak dan tetangga ribut!"
"Halah! Gak usah kamu bela-bela dia! Kalau gak bisa ngurusin dan kasih makan kucingnya, gak usah dipelihara!"
[caption id="attachment_91" align="aligncenter" width="300"] credit[/caption]
***
"Permisi nak Rahayu...." seseorang mengetuk pintu depan rumah, ketika aku sedang asyik memotong kuku di dalam kamar.
Aku kenal suara serak itu dan segera membuka pintu. Pakde Narto.
"Iya, Pakde. Ada apa?" aku menangkap kilatan kekhawatiran dari wajah tuanya yang berkerut bagai kertas lapuk.
"Begini, Nak. Mmmmm....sudah dua hari Tambara tidak pulang ke rumah. Mungkin Nak Rahayu ada melihat?"
"Tambara? Siapa Pakde?"
"Itu... Kucing berbulu hitam punya Pakde..."
Barulah kusadari, memang tak ada tanda-tanda Tambara, biasanya pasti suara Mak Isni nyaring meributkan kucing itu. Dan dua hari ini rumah aman tentram.
"Sayangnya, saya gak lihat Tambara, Pakde... Tapi coba saya tanyakan ke Mak sepulang pasar nanti, manatahu Mak lihat."
***
"Ayuuuuuuu!" pekik Mak Isni sontak membangunkanku dari tidur. Gelagapan aku mendekati tempat tidur Mak.
"Kenapa, Mak? Mak mau apa? Apa ada yang sakit?"
"Usir kucing itu! Usiiiirrrr!" ia menuding-nudingkan tangannya ke sudut kamar. Kulayangkan pandanganku ke arah yang ia tunjuk. Tak ada apapun selain tong sampah.
"Gak ada kucing, Mak..." aku mengelus-ngelus punggungnya.
"Itu kucing, Yu! Masak kamu gak lihat! Mak mau pindah saja!"
"Tidurlah lagi, Mak hanya mimpi..." kubantu Mak kembali tidur.
Sudah hampir seminggu, Mak Isni terus meracau ada kucing di kamar ini. Mana mungkin ada kucing di rumah sakit? Demamnya juga tak turun-turun. Diagnosa dari dokter, Mak Isni hanya sakit demam biasa.
Kubelai rambutnya yang sebagian besar sudah memutih, aku yakin ini bukan sekadar demam biasa.
***
Kuhempaskan badanku di tempat tidur. Banyak tamu silih berganti mengucapkan belasungkawa. Hampir sebagian mengatakan tak menduga kepergian Mak Isni yang begitu cepat. Apalagi aku. Air mataku terus bergulir tiada henti. Bukan. Bukan hanya kesedihan atas kepergiannya yang tiba-tiba.
Lebih karena apa yang Pakde Narto temukan di belakang rumah kami ketika membantuku membersihkan rumah karena kerepotanku mengurus Mak Isni di rumah sakit.
Bangkai Tambara. Terpotong-potong benda tajam. Dimutilasi. Oh, Mak.
373 words
keren banget ini cerpennya... aku seneng banget nemu alur cerita seperti ini.... dari awal udah bikin penasaran, dari paragraf pertama... keren banget.... aku gak sangka yang jadi objek marah-marah mamak, sampai apa yang jadi objek penutup akhir ceritanya sangat sama dan sederhana.. si Tambara... keren! aku suka banget cerita ini.... _^
BalasHapusMakasih banyak ya! *jadi malu*
BalasHapusSuka ceritanya... Bacanya sambil bayangin kucing hitamku dulu yang bermuka seram dan bermata satu....
BalasHapusMakasih citra :)
BalasHapus