17 Tahun Pernikahan
Masa-masa menjelang pernikahan adalah masa paling sulit. Paling banyak menangis. Semua diurus hanya berdua.
Suami melamar ke alm papa hanya lewat telpon. Tanpa hantaran apapun.
Papa jauh di Jakarta. Waktu itu tinggal sendiri di Pekanbaru, ngekos.
Tidak punya siapa-siapa.
Tidak punya apa-apa.
Berbekal restu papa, kami mengurus dokumen-dokumen pernikahan.
Suami bicara dengan ibunya, almh. ibu mertua.
Bahwa kami akan menikah, biaya hanya segini segitu. Aku meragukan diriku sendiri, apakah ada orang lain yang akan menerimaku sebagai mantu. Dibilang minang bukan, dibilang cina iya.
Mertua merestui, katanya "Yang penting mantu Ama menutup aurat dan menjaga solat."
Hatiku yang saat itu sedang kalut bagai disiram air sejuk dari sungai yang mengalir jernih. Tersedu entah karena sedih menikah apa adanya atau senang karena direstui menikah. Apakah ini baik ataukah menuju sesuatu yang buruk.
Kami hanya punya uang 15 juta. Itu pun pinjam dari bank.
5 juta untuk tiket pesawat papa PP Jakarta - Padang dan kebutuhan papa.
Sisanya untuk biaya pengurusan dokumen nikah, konsumsi syukuran dan sewa baju.
Berencana mau beli cincin nikah, tapi terlalu menguras dana, akhirnya pakai mukena untuk mahar nikah.
Tidak ada foto prawedding.
Tidak ada tenda.
Tidak ada dekorasi.
Tidak ada orgen.
Kami menikah di Payakumbuh. Tanpa teman-teman kantor di Pekanbaru.
Hari itu pun tiba. Setelah dapat ijin dari kantor 2 hari untuk menikah, kami berdua berangkat dengan travel ke Payakumbuh. Alm papa pun sudah dipastikan dalam perjalanan. Sebentar lagi aku akan menghabiskan hidupku dengan pria asing ini. Entahlah akan jadi bala bencana atau surga dunia. Entahlah. Kupasrahkan semua pada Yang Esa. Menikah hanya dengan satu niat, keberkahan dari-Nya.
Papa datang menjelang akad. Entah perasaan apa yang bisa mengungkapkan hatiku saat itu. Jantung berdegup kencang, bahkan aku bisa mendengar degupannya di telingaku. Nafasku cepat dan aku begitu takut.
Kulihat keraguan dari Penghulu, bertanya pada Papa apakah aku ini anak kandungnya, hatiku berdesir. Lalu ia membimbing Papa untuk syahadat. Siapapun pasti bingung melihat seorang Ah Tong punya anak perempuan secantik Mei Mei tapi berhijab.
Penghulu menyalami tangan suamiku. Rasa-rasa mau pingsan saking takutnya. Telapak tangan basah oleh keringat. Gemetaran. Ijab kabul dilakukan tidak sampai 5 menit, tapi janji itu terdengar sampai pada malaikat. Papa telah menyerahkan tanggung jawabnya pada suamiku.
Papa yang sama yang memapahku setahun kemudian ketika aku sulit bisa bergerak karena nyeri perutku yang dibelah untuk operasi cesar.
Tujuh belas tahun berlalu.
Ada saat-saatnya aku ingin menyerah saja.
Ada saat-saatnya aku merasa bisa sendirian saja.
Ada saat-saatnya aku tidak bisa hidup tanpanya.
Ada saat-saatnya aku benci hidup bersamanya.
Kadang tertawa melihat wajahnya.
Kadang benci mendengar nafasnya saja.
Di malam sebelum pernikahan kami, nasehat itu selalu terngiang "Kalau pasangan kita sedang jadi api, kitalah jadi airnya. Demikian juga sebaliknya. Jangan dua-dua jadi api."
Tapi sebagian besar aku yang jadi apinya.
Kami pun berangsur berlalu menua. Masa muda pun kian terlepas dari genggaman. Anak-anak pun sudah tak bisa didekap dalam gendongan lagi. Bukan lagi bicara tentang cinta, tapi bagaimana mencintai. Bukan lagi bicara tentang tuntutan, tapi bagaimana mengatasi. Bukan lagi bicara aku begini kamu begitu, tapi bagaimana kami.
Selamat hari jadi pernikahan ke 17, kakandaku ❤️
Dari adindamu 💖
Komentar
Posting Komentar
Your thoughts greatly appreciated! Share it with us! (^_^)
Nowadays, I've been have hard times to reply comments or blogwalking to your blog. So, thank you so much for visiting me here!