The Trauma #6

*Kisah ini merupakan kisah penyintas kekerasan pada anak oleh ibu narsistik, perlu kebijaksanaan dalam membacanya.*

Pertama kali bertemu (calon) mama mertua, ia memeluk saya dan memanggil saya Nak. Saya yang hampir tidak pernah dipeluk, muncul perasaan aneh membuncah dari hati. Perasaan nyaman tapi aneh. 
Kasih sayang mama mertualah yang benar-benar terasa "ibu". Ia akan menelpon suami tiap hari, menanyakan apakah saya dan suami sehat, apakah anak-anak juga sehat. Lalu kami bergantian ngobrol di telpon. Atau ia akan mengirim lauk dari Payakumbuh pakai travel.
Atau kalau pulang kampung, ia akan mengajarkan saya cara memasak. 

Saya tidak bisa bersosialisasi. Saya tidak tahu caranya. Ibu saya tidak berteman dengan tulus pada tetangga, karena ia akan baik di depan mereka dan akan menjelekkan mereka di rumah. Atau ia akan bertengkar bahkan menyerang fisik tetangga. Setiap pindah rumah, ia akan menjadikan tetangga musuhnya.
Oh iya, ibu saya juga datang ke arisan. Tapi baginya itu adalah ajang memamerkan perhiasan. Lalu pulang dari arisan ia akan menceritakan betapa buruknya ibu-ibu itu satu persatu. 
Jadi saya tidak punya role model bergaul dengan tetangga.

Mama mertualah dan suami yang mengajarkan saya bagaimana. Apa yang harus ditanyakan, apa saja adab dan caranya. Menghadiri wirid dan arisan. Perlu waktu lama bagi saya untuk menghilangkan rasa gugup dan gemetar, tapi akhirnya bisa. Saya aktif datang di arisan kompleks, dengan meluruskan niat untuk silaturahmi. Saya memiliki hubungan baik dengan tetangga kiri kanan depan belakang. Karena bukankah tetangga itu adalah saudara kita yang paling dekat kata Nabi? Walaupun sikap avoidant saya masih membuat saya tidak mau terlalu dekat, saya bangga bisa memperbaiki diri ❤️


Komentar

Postingan Populer