The Trauma #5

*Kisah ini merupakan kisah penyintas kekerasan pada anak oleh ibu narsistik, perlu kebijaksanaan dalam membacanya.*

Semasa kecil, ada beberapa hal kecil ganjil tapi saya abaikan. Ibu saya pintar menjahit. Dia menjahit banyak kebaya untuk dirinya sendiri. Kebaya cantik yang banyak detail dan beraneka macam warnanya. Anehnya, hanya 2 kali yang saya ingat ia pernah jahitkan untuk saya. Baju warna merah semasa saya berumur 5-6 thn dan baju ultah saya yang ke 17, yang waktu itu saya sketsa sendiri. Hanya itu saja. 

Mukena. Ia membeli mukena yang bagi saya kecil itu sungguh cantik sekali. Tapi ternyata bukan untuk saya. Ia membelinya untuk dirinya sendiri. Bahannya satin mengkilat dan rendanya sungguh detail dan rapi. Sedangkan ia membeli mukena untuk saya yang bahannya kaku, rendanya jelek dibagian tepi. Yang seolah-olah dilubangi dengan tidak ikhlas dengan alat yang dipanaskan lalu ditusukkan ke kain.

Hampir di setiap ulang tahun saya, ia tidak mengucapkan atau turut gembira di hari ultah saya itu. Ia akan pura-pura lupa dan jika saya merajuk karenanya, ia akan balik marah dan membela diri bahwa ia sudah melakukan sesuatu untuk saya di hari ultah saya. Ia akan membuat drama sendiri di HARI ULTAH SAYA. 
Padahal di hari ultahnya saya selalu ingat dan berusaha mengucapkan pertama kali. Ya tapi tetap saja ia mengabaikan saya seolah-olah apa yang saya kerjakan untuknya itu tidak berarti. 

Kalau saya membawa teman ke rumah, ia akan bersikap super manis dan ramah. Senyumnya akan disebarkan pada satu-satu teman saya. Aneka makanan akan dikeluarkannya. Intonasi suaranya begitu lembut. 
Dan ketika mereka pulang, mode defaultnya akan kembali lagi. Dingin, tidak senyum, bicara yang tidak ramah, kembali pada saya. 

Apalagi kalau sampai ia tahu saya punya teman dekat. Ia akan membuat itu jadi senjata bumerang. 
Jika teman dekat saya pintar masak, ia akan menggunakan itu untuk jadi bahan merontokkan harga diri saya. 
"Itu aja nggak bisa. Liat itu si xxx, pandai dia nolong mamanya. Pintar dia masak. Nggak kayak lu! Bisanya habisin uang terus!" 
Setelah itu saya menjauhkan diri dari teman dekat saya itu. 

Dampaknya ketika saya dewasa, saya menjadi avoidant. Saya menghindari banyak orang agar saya tidak kecewa. Padahal seharusnya saya komunikasikan. Ini masih sulit sekali untuk diperbaiki. Tapi bisa pelan-pelan dengan suami dan anak-anak. 

Ketika saya beranjak besar, saya tidak tertarik lagi merayakan ultah. Bagi saya, yg mengucapkan ultah untuk saya, ialah yang menganggap saya penting. Belakangan ini saya menyadari, ada atau tidaknya orang yang merayakan ultah kita, kita penting bagi diri kita sendiri. Diri kita sudah bertahan dan berjuang, makan teratur, banyak belajar ilmu baru dan mengatur pola hidup sehat. Seharusnya kita berterimakasih yang banyak untuk diri sendiri. Mari kita rayakan, dengan ataupun tanpa orang lain. Biasanya saya akan makan sendirian di resto dengan menu mewah dan membeli kado untuk diri sendiri. Hal ini sangat membantu menaikkan kepercayaan diri dan afirmasi bahwa kita juga sama pentingnya dengan orang lain. Pengabaian ibu saya ketika saya berulang tahun seolah-olah saya tidak penting untuk lahir ke dunia ini, bukanlah tolok ukur nilai diri saya. 

Saya masih ingat hari ultah ibu saya, tapi saya tidak menghubunginya atau memberi kado lagi. Saya tidak mau menjadi supply energi negatifnya lagi. 

Saya mulai menyenangi membeli baju atau apapun yang membuat saya nyaman memakainya. Tak lagi memandang orang lain suka atau tidak. Tak memandang merk atau trend. Saya suka, saya beli, saya pakai. 

Oh ya satu lagi keanehan ganjil. Ibu saya mendoktrin semua orang dirumah untuk menyukai warna biru. Hingga saya besar saya pikir saya suka warna biru. Tapi ternyata tidak 🤣
Bahkan warna favorit saya pun saya tidak tahu. 
Belakangan setelah jadi ibu, saya tahu saya suka warna hijau muda dan pink. Saya akhirnya punya warna favorit 😁




Komentar

Postingan Populer