The Trauma #4

*Kisah ini merupakan kisah penyintas kekerasan pada anak oleh ibu narsistik, perlu kebijaksanaan dalam membacanya.*

Sewaktu SMA kelas 2 sekitar tahun 2002, saya memutuskan untuk berhijab. Sebelum-sebelumnya saya pernah tanya ke mama, kalau saya berhijab sedangkan mama nggak, mama keberatan nggak? Lalu dia bilang gapapa. Memegang jawabannya itu berapa bulan setelahnya saya utarakan niat untuk berhijab. Tak pernah diduga, ia marah besar. Walaupun ia marah, saya tetap belajar berhijab. Awalnya sekitar rumah saja kalau keluar rumah. Puncaknya ketika sedang menyapu halaman, dan memakai jilbab instan, ia naik pitam.

"Mau tunjukkan ke orang kalau lu itu lebih baik dari mama?"
"Apa kata orang, dulu sekolah di sekolah kristen, tapi sekarang pakai jilbab?"
"Gimana teman-teman sekolah? Mereka kan bukan muslim, tapi lu pakai jilbab!"
"Keluarga papa itu Chinese, gimana nanti kata mereka?" 
"Susah tau cari kerja, kalau pakai jilbab! Dulu teman mama, anaknya kerja di bank, harus buka jilbab"
"Mana ada laki-laki nanti yang mau sama perempuan berjibab? Susah dapat jodoh!"
"Berjilbab-jilbab nanti lama-lama jilbab lebar abis itu jadi fanatik!"

Saya telan semua cercaannya sambil tentu saja menangis. 

Lalu ia bilang, "Kalau masih pakai jilbab juga, keluar dari rumah!"

Akhirnya saya mengalah. Saya tanya lagi kapan boleh pakai jilbab? Kuliah katanya.

Tapi memang pada dasarnya NPD tidak pernah konsisten dengan kata-katanya, ketika kuliah saya memulai berjibab, selama sebulan ia tidak menyapa saya. Mukanya selalu masam (dan biasanya memang selalu masam pada saya, cuma lebih masam saja dari sebelumnya 🙄)

Well, semua kata-kata menakutkan yang digaung-gaungkannya tidak pernah terbukti.

Saya menikah setahun setelah menyelesaikan kuliah. Saya bisa bekerja kantoran, bahkan sebelum saya wisuda. Jilbab saya juga tidak berpengaruh dalam hubungan dengan teman-teman saya di sekolah swasta katolik dan keluarga papa, rekan kerja atau atasan.

Selama masa dicerca oleh mama, peralihan memakai jilbab itu, papa diam saja. Waktu itu saya ragu, sebenarnya diamnya papa ini setuju atau tidak setuju, tidak berani menanyakannya secara langsung. 

Setelah pakai jilbab, sewaktu kuliah, papa pernah menyerahkan 2 baju lengan panjang warna merah dan kuning dan bilang bahwa itu baju yang dibelikannya untuk mama, tapi biar saya aja yang pakai. 

Bertahun setelahnya, papa meninggal dunia, lalu memori papa memberikan 2 baju itu muncul. Tiba-tiba hati saya tersentak. Baju itu bukanlah baju style mama. Baju lengan panjang. Saat itulah saya sadar, selama ini papa sudah meridhoi saya pakai jilbab dengan memberikan 2 baju lengan panjang itu, yang memang untuk saya. 
Alfatihah untuk papa ❤️

Komentar

Postingan Populer