[Berani Cerita #24] Jemputan

Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Air matanya begitu indah: bulir-bulir serupa mutiara. Seandainya bisa kupunguti dan kuuntai menjadi kalung, lalu kusematkan di lehernya yang jenjang, tentu akan menjadi hadiah terindah. Aroma semerbak harum tubuhnya mengingatkanku akan harumnya tanah setelah disiram hujan. Menyegarkan dan membuat candu.

"Akhirnya, istriku... Akhirnya..." kukecup kening dan kuremas jemarinya.


***

"Lalu, berapa nanti bisa kamu beli putraku untuk bajapuik*?"

"Amak, jangan desak Vi seperti itu. Kita sama-sama tahu ia yatim piatu, bagaimana mungkin bisa membayar uang bajapuik?"

"Amak indak peduli. Susah payah amak sekolahkan kau jadi dokter!"

Ibuku masuk ke kamar dan membanting pintu. Kutatap Vivienne sendu, ia menunduk dengan wajah memerah. Aku tahu ia sedang menangis dalam diam.
***

Pukul dua belas kurang lima belas. Kusulut batang rokok keduaku. Pandanganku tak lepas dari tiap mobil-mobil yang lalu lalang. Gemetar, kurogoh amplop dalam tas ranselku. Satu juta rupiah. Cukup.

Malam makin menggigit. Jantungku makin berdegup kencang ketika sebuah mobil menepi. Jemputan menuju Vivienne-ku. Menunggu dengan penghulu. Tanpa amak.

banner-BC#24
***

Note: 170 kata. Udah lama banget gak nulis, otak jadi buntu dan akhirnya ceritanya jadi beginiiiihhhh, telat lagi T__T

Bajapuik = Menjemput, istilah adat Pariaman Minangkabau, dimana si lelaki 'dibeli' oleh pihak perempuan. Semakin tinggi atau bergengsi pekerjaannya, uang bajapuik akan semakin tinggi. Selengkapnya disini

Komentar

Postingan Populer