Gadis Kecil Sulung Papa
Seperti biasanya, rutinitas sebelum bulan Ramadhan menjelang adalah berziarah ke pusara orang tua. Begitu pun denganku. Sudah dua Ramadhan almarhum papa tak lagi bisa sahur bersama dengan kami.
Jangan ditanya betapa aku merindukan papa.
Jangan ditanya betapa aku merindukan papa.
credit |
SI UPIK ABU
"Piak*, buatkan papa mie rebus!"
"Piak*, buatkan papa kopi!"
"Piak*, tolong pijatkan kaki dan punggung papa!"
"Piak*, buatkan papa kopi!"
"Piak*, tolong pijatkan kaki dan punggung papa!"
Dari kami bertiga bersaudara, akulah yang paling sering menjadi 'tumbal' segala permintaannya. Mungkin itulah resiko menjadi anak pertama dan kebetulan satu-satunya anak perempuan.
Atau mungkin karena dulu ia sudah bekerja keras sejak kecil karena perannya sebagai anak pertama dan ingin sedikit bernafas lega di masa tua. Atau mungkin kami sama-sama si anak pertama yang keras kepala. Atau mungkin sudah alamiah bahwa seorang anak perempuan dekat dengan ayahnya. Atau mungkin semua opsi tadi.
Membuatkan sesuatu untuk papa itu begitu melelahkan. Betapa tidak?
Kami tinggal di ruko berlantai tiga. Usaha papa di lantai satu dan kamarku di lantai tiga. Dapur di lantai dua.
Beliau akan memanggil, "Upiak!*". Lalu aku turun ke lantai satu, "Apa pa?". "Buatin papa mie/kopi." Lalu aku naik ke lantai dua, masak permintaan Beliau. Setelah selesai, turun lagi ke lantai satu, menyerahkan 'titah baginda'. Lalu naik lagi ke lantai tiga, melanjutkan tugas kuliah.
Bayangkan reka adegan tersebut jika dalam sehari, papa minta tiga permintaan! T_T
Sudah berulang kali aku menolak dengan cara halus alias ngeles beberapa permintaannya.
"Mayya lagi belajar nih. Papa gangguin aja. Kan bisa minta tolong mama dulu?"
Itu biasanya kalimat sakti yang kukeluarkan untuk 'keluar dari tanggung jawab'.
"Mie rebus buatan Mayya lebih enak.", itu kalimat sakti papa untuk menepis segala alasan yang kubuat-buat.
Entah harus merasa bangga karena mie rebus buatanku terenak di lidahnya atau tidak.
"Ah, alesan papa aja. Dimana-mana mie rebus itu ya bumbunya kan sama! Kan dari satu pabrik juga, masa' bisa beda?", sahutku tak kalah sengit. Ya, mie rebusnya itu hanya mie instan, saudara-saudara!
"Udah, buatin aja!", kalimat penutup papa.
Aih, kalau sudah begitu, akhirnya aku manut saja, dengan mengomel tentunya.
Atau mungkin karena dulu ia sudah bekerja keras sejak kecil karena perannya sebagai anak pertama dan ingin sedikit bernafas lega di masa tua. Atau mungkin kami sama-sama si anak pertama yang keras kepala. Atau mungkin sudah alamiah bahwa seorang anak perempuan dekat dengan ayahnya. Atau mungkin semua opsi tadi.
Membuatkan sesuatu untuk papa itu begitu melelahkan. Betapa tidak?
Kami tinggal di ruko berlantai tiga. Usaha papa di lantai satu dan kamarku di lantai tiga. Dapur di lantai dua.
Beliau akan memanggil, "Upiak!*". Lalu aku turun ke lantai satu, "Apa pa?". "Buatin papa mie/kopi." Lalu aku naik ke lantai dua, masak permintaan Beliau. Setelah selesai, turun lagi ke lantai satu, menyerahkan 'titah baginda'. Lalu naik lagi ke lantai tiga, melanjutkan tugas kuliah.
Bayangkan reka adegan tersebut jika dalam sehari, papa minta tiga permintaan! T_T
Sudah berulang kali aku menolak dengan cara halus alias ngeles beberapa permintaannya.
"Mayya lagi belajar nih. Papa gangguin aja. Kan bisa minta tolong mama dulu?"
Itu biasanya kalimat sakti yang kukeluarkan untuk 'keluar dari tanggung jawab'.
"Mie rebus buatan Mayya lebih enak.", itu kalimat sakti papa untuk menepis segala alasan yang kubuat-buat.
Entah harus merasa bangga karena mie rebus buatanku terenak di lidahnya atau tidak.
"Ah, alesan papa aja. Dimana-mana mie rebus itu ya bumbunya kan sama! Kan dari satu pabrik juga, masa' bisa beda?", sahutku tak kalah sengit. Ya, mie rebusnya itu hanya mie instan, saudara-saudara!
"Udah, buatin aja!", kalimat penutup papa.
Aih, kalau sudah begitu, akhirnya aku manut saja, dengan mengomel tentunya.
*upiak : panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Minang
LAHIR DINI
Dibalik segala perselisihan diantara kami, walaupun Beliau tidak pernah mengatakan ia menyayangiku, aku tahu, aku adalah anak pertama kesayangannya.Aku lahir dalam keadaan premature. Ketika kandungan mama berusia 6 bulan seminggu, ternyata aku ingin melihat dunia lebih cepat. Papa yang waktu itu berada di Pekanbaru, tidak menyangka aku lahir secepat itu dan bergegas pulang ke Padang.
Ketika dokter menyerahkan surat keterangan lahir, tertera:
Berat Badan Bayi : 1000 gram
Seketika papa yang biasanya ahli dalam hitung menghitung matematika, ia sampai lupa 1000 gram itu berapa kilogram.
Alhasil, selama 21 hari ke depan setelah aku menyapa dunia, papa dan mama sibuk bolak-balik rumah sakit untuk memberikan perahan ASI untukku. Mereka tidak bisa menggendong atau memelukku, karena terpisah oleh inkubator dengan segala selang di tubuh yang men-support hidupku kala itu.
credit |
Setelah keluar dari rumah sakit, papa membuatkan inkubator buatan untukku. Pernah lihat tempat penetasan telur yang memakai lampu di atasnya? Seperti itulah inkubatorku. Sebuah tempat tidur bayi yang diatasnya ada lampu yang harus hidup terus menerus.
Hal inilah yang membuat aku hingga sekarang memiliki temperatur tubuh yang lebih tinggi dari orang lain.
Dengan ukuran tubuh yang memang hanya sebesar botol kecap, Jika papa menggendongku keluar rumah, anak-anak kecil di sekitar perumahan akan mengejekku dengan berseru, "Anak tikus! Anak tikus!". Tentu saja papa berang dan memarahi mereka!
Ah, aku selalu menyukai cerita itu dari mulutnya. Entah berapa kali cerita itu diulang-ulang, tapi aku tak pernah (bisa) bosan. Akulah yang pertama kali dan satu-satunya membuat papa dan mamaku kewalahan ketika lahir.
ISTRI MUDA?
Ada suatu pengalaman lucu antara kami berdua. Kejadian ini begitu membekas di hatiku. Aku dan papa adalah pecinta makan sejati. Kami begitu kompak dalam hal itu dan mungkin satu-satunya. Di suatu malam, papa mengajakku makan di Cikapunduang, tempat makan emperan pinggir jalan yang biasanya masakan Padang. Seperti biasa, makan sambil ngobrol ngalur-ngidul. Tapi setelah beberapa saat, aku mulai memperhatikan pandangan-pandangan orang lain yang juga sedang makan menatap kami, dengan tatapan yang 'menginterogasi'.
Aku pun dengan spontan bertanya ke papa, "Pa, kenapa orang-orang liatin kita begitu?".Papa pun melihat sekitarnya dan tertawa pelan.
Tanpa menjawab pertanyaanku, ia terus menghabiskan makannya. Dan aku yang sedang bingung pun akhirnya mengikuti.
Setelah membayar, ketika menuju parkiran, barulah papa menerangkan maksud pandangan tadi."Mereka nyangka mungkin kita ini pasangan suami istri. Atau malah nyangkanya Mayya itu istri muda! Hahahaha!"
Aku melongo. Gak ngerti. Kok bisa?
"Ah, masa iya sih pa? Emang gak kelihatan kalau kita ini bapak anak?", masih ngotot.
"Lah, masak papa bohong? Coba hitung lagi umur kita...", jawabnya.
Mulailah aku mengingat-ngingat umur kami.
Seketika itu pula aku baru sadar, ternyata memang benar. Aku waktu itu masih berumur awal 20-an dan papa berumur awal 40-an.
Barulah aku ikut-ikutan tertawa dan geleng-geleng kepala.
Itulah resiko menjadi anak pertama!
Aku pun dengan spontan bertanya ke papa, "Pa, kenapa orang-orang liatin kita begitu?".Papa pun melihat sekitarnya dan tertawa pelan.
Tanpa menjawab pertanyaanku, ia terus menghabiskan makannya. Dan aku yang sedang bingung pun akhirnya mengikuti.
Setelah membayar, ketika menuju parkiran, barulah papa menerangkan maksud pandangan tadi."Mereka nyangka mungkin kita ini pasangan suami istri. Atau malah nyangkanya Mayya itu istri muda! Hahahaha!"
Aku melongo. Gak ngerti. Kok bisa?
"Ah, masa iya sih pa? Emang gak kelihatan kalau kita ini bapak anak?", masih ngotot.
"Lah, masak papa bohong? Coba hitung lagi umur kita...", jawabnya.
Mulailah aku mengingat-ngingat umur kami.
Seketika itu pula aku baru sadar, ternyata memang benar. Aku waktu itu masih berumur awal 20-an dan papa berumur awal 40-an.
Barulah aku ikut-ikutan tertawa dan geleng-geleng kepala.
Itulah resiko menjadi anak pertama!
BAKTI TERAKHIR
Ketika menjelang hari-hari terakhir papa pun, ia memutuskan untuk tinggal dirumahku, si anak pertamanya. Aku tidak tahu pasti alasannya, mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya yang ia miliki atau ia ingin bertemu dengan cucu pertama dan satu-satunya, Little Bee. Mungkin keduanya.
Membuatkan bubur (yang belum sempat kusuapkan) dan memijat tangannya, adalah baktiku yang terakhir untuk Beliau. Sehari sebelumnya bahkan aku mengecup pipinya dan mengatakan aku mencintainya. Suatu hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
Mudah-mudahan semasa Beliau hidup, aku tidak mengecewakan dan menyakiti hatinya.
Tidurlah tenang disana, Pa. Doa tidak akan berhenti teriring untukmu.
Membuatkan bubur (yang belum sempat kusuapkan) dan memijat tangannya, adalah baktiku yang terakhir untuk Beliau. Sehari sebelumnya bahkan aku mengecup pipinya dan mengatakan aku mencintainya. Suatu hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
Mudah-mudahan semasa Beliau hidup, aku tidak mengecewakan dan menyakiti hatinya.
Tidurlah tenang disana, Pa. Doa tidak akan berhenti teriring untukmu.
Aku bangga menjadi putrimu.
Tulisan ini diikutsertakan pada
yang diadakan oleh
postingan ini membangkitkan kenangan akan almarhum Bapakku...kenangan indah yang takkan bisa terulang kembali
BalasHapusJAdi penasaran sama Mie buatan MAyya..
BalasHapusBoleh juga tuh dibikinin,..
Mauu donk apalgi malem2 begini hmm..
Semoga Papanya tenang di sana..
Amin
aduh jadi sedih ngebacanya may...
BalasHapuspasti kangen banget ya ama papa lu...
Mba may.. sangat menyentuh inii... hiks..
BalasHapussmoga menang yaa.. ;)
Aduh Mayya, terharu ih bacanya.. :')
BalasHapusSukses kontesnya ya, met puasa ;)
Amin....
BalasHapusAku juga setiap mau puasa,ziarah mba ke makam nenek & kakek soalnya punya kenangan sama nenek terutama karena sebelum beliau meninggal minta di ajarin baca al-quran
BalasHapusal fatihah utk ayahnya ya mbak..
BalasHapussubhanallah mbak, Allah emang maha besar ya.. Sy juga py temen yg melahirkan anaknya secara prematur dg berat 1100 gr.. Sempet di inkubator lama juga setelah lahiran.. dokter udah prediksi aja kl umurnya gak akan lebih dr 2 tahun krn saking kecilnya.. kalopun tetep bertahan akan mengalami sejumlah kecacatan..
Tp skrg anaknya udah seumuran anak sy, alhamdulillah sehat wal afiat. gak ada bedanya sm anak2 lain.. Kl kata temen sy, dia sih hy pasrah aja. Pokoknya melakukan yg terbaik aja utk anaknya. Sy yakin itu juga yg dilakukan orang tua mbak Mayya ya. Sehingga walopun mbak Mayya lahir prematur skrg tetep sehat spt sekarang :)
hiks.. terharu.. jd kangen bapak di kampung. Alhamdulillah bpkku msh diberi kesehatan sampai skrg, walo sesekali sakit jg. Smoga msh ada kesempatan utkku berbakti..
BalasHapusMayya, bikinin mi rebus doooong... hihihi... :P
cinta kasih orang tua memang ga berbatas ya, mbak
BalasHapusbersyukur jg mbak masih bisa berbakti hingga saat2 terakhirnya. Saya mah boro-boro. Hehe
sudah terdaftar sebagai peserta Hajatan Anak Pertama ya, mbak. Maaf, baru mampir. Terima kasih tas partisipasinya :)
Duh...terharu bgt bacanya May.
BalasHapusGudlak ngontesnya ya, dan selamat menjalankan ibadah ramadhan :)
@BlogS of HariyantoAku yakin almarhum bapak mas bangga akan mas sekarang ^_^
BalasHapus@Nchie HanieSamalah enaknya sama buatan mbak hehehe...*ngeles*
BalasHapusAmin...makasih doanya ya mbak...
@ArmanIya ni ko Arman...
BalasHapus@Desi*hugs*
BalasHapusMudah2an ya mbak Desi!
@DellaAmin...makasih ya mbak Della...met puasa juga...
BalasHapus@Rina Susanti EsaputraAmin...
BalasHapus@AndyMudah2an kakek dan nenek mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya ya mas Andy...Amin...
BalasHapus@ke2naiAmin..mudah2an anak temen mbak sehat dan normal seperti anak lainnya. Walopun aku sempat sakit2an, insya Allah makin besar, penyakitnya makin berkurang, hingga sekarang ^_^ Alhamdulillah...
BalasHapus@covalimawatiPulang kampung besok pas Lebaran gak, Cova? Pasti bapak udah kangen ama Cova dan cucu2nya yang berdua ituh...
BalasHapusBoleh, tapi kerumah dulu ya ;P
@catatannyasulungMakasih udah didaftarin ya Lung! ^_^
BalasHapus@OrinMakasih ya Orin...selamat berpuasa juga!
BalasHapusudah baca postingan ini dari kemarin2, tapi gak tau harus komen apa ..
BalasHapusselamat puasa ...
@deyHehehe...gak apa apa, mbak...Dibaca aja aku udah bersyukur. Selamat puasa juga ya mbak ^_^
BalasHapusYa ampun Mbak Mayya, aku juga langsung kangen sama alm Bapakku baca postingan ini.
BalasHapusTapi beda sama Mbak Mayya, kalo aku anak bungsu. Lebih dekat sama Alm Bapakku, karena usiaku terpaut jauh dari kakak-kakakku. Jadi saat kakakku udah pada SMA, kuliah, aku masih jadi gadis kecilnya.
Semoga Alm bapak kita diampuni dosanya ya, Mbak
tulisan yang bener2 menyentuh hati mba... bikin aku langsung ingin menghambur ke pelukan ayahku yang sedang dirundung duka.... ingin kulipur laranya, ingin kuhapus dukanya... sekuat jiwa dan tenaga yang kupunya... #kok malah jadi curhat ya? :)
BalasHapussemoga almarhum papa mba Mayya kini telah beristirahat dalam damai di sisi Ilahi Rabbi ya mba....
I believe that he is proud of you and love you so much mba!
btw, aku juga anak sulung lho! :)
Met menjalankan ibadah puasa ya sist!
@Indah KurniawatyAmin! Ayo kita kirimkan doa mbak Indah!
BalasHapus@alaika abdullahAyo mbak jangan sia2kan kesempatan di saat Beliau masih hidup! ^_^
BalasHapus*toss anak sulung*
Mudah2an bulan Ramadhan ini lebih baik dari tahun kemarin ya mbak!
Makasih yaaa!
Wah saya jadi terhura dan terharu saat baca postingan ini mbak, saya doakan semoga papa mbak mendapatkan terbaik di sisiNya.Amin YRA
BalasHapusGood luck ya ikutan kontesnya, semoga menang :)
bisa ya di sangka istri muda...ada2 aja,,,
BalasHapuscieeee anak kesayangan papa nya hehehe...
BalasHapustapi klo anak cewe paling besar cenderung lebih dekat sama papa yah.
@SeagateAmin...Mudah2an mas, makasih yaaa...
BalasHapus@obat tumor lambung alamiiya tuh...
BalasHapus@Mila SaidMbak Mila juga yah?
BalasHapus