Si Kakak Baby Sitter

*Kisah ini merupakan kisah penyintas kekerasan pada anak oleh ibu narsistik, perlu kebijaksanaan dalam membacanya.*

Setelah menikah, resign setelah si bocah sulung berumur setahun, menjalani pekerjaan rumah tangga sangat tidak menyenangkan buatku. 
Selalu ada perasaan tidak bahagia membereskan rumah, menyapu, mengepel, mencuci baju manual, menyetrika, bertolak belakang dengan apa-apa ibu-ibu lain pada umumnya yang pernah dilihat, dimana mereka begitu tekun, teliti dan detail. Bahkan kalau ke rumah tetangga, iri banget karena rumah mereka bersih sekali. Berbeda denganku yang tidak telaten, membersihkan seadanya.

Aku tidak pernah paham perasaan ini sampai pada akhirnya baru-baru menonton serial "Kotaro Lives Alone" di Netflix. Menceritakan anak lima tahun yang tinggal sendiri akibat kekerasan dan pengabaian orang tua.
Tiba-tiba semuanya flashback.

Waktu berumur tiga belas tahun, adik bungsuku lahir. Aku masih duduk di bangku SMP. Lalu mulai beranjak SMA, semuanya dimulai. Aku harus bangun jam 5 pagi setiap hari, menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju 4 anggota keluarga dengan tangan, yang padahal waktu itu sudah ada mesin cuci tapi ibu bersikeras semua cucian harus dicuci tangan, mesin cuci hanya untuk mengeringkan. Lalu lanjut menjemur baju.
Siap-siap dan pergi ke sekolah.
Pulang sekolah harus tepat waktu, memberi makan si adik yang masih balita, memandikannya jika belum mandi, dan ketika ia sudah mulai sekolah, tugasku yang membimbingnya belajar, membuat PR dan membantu mengerjakan tugas sekolahnya. Ia si adik, hampir selalu diabaikan oleh Ibu, yang memakai alasan bekerja dan sibuk di lantai bawah. Rumah kami ruko tiga lantai (yang dengan ekonomi itu,  seharusnya ibu bisa menyewa ART). Hari Minggu, hampir sepanjang hari menyetrika baju yang segunung. Nggak ada waktu bisa bersenang-senang dengan teman-teman SMA yang bisa berpetualang kesana kemari. Jadi jangan tanya berapa teman yang dekat waktu itu.

Bukankah aku bisa tidak perlu mengerjakannya?
Maka akan keluar kata-kata dari Ibu
"Anak tidak tahu diri!"
"Bisanya hanya minta uang saja!"
"Mama sudah banyak berkorban untuk kamu!"
"Nggak ada yang peduli Mama!"
tentu saja diringi dengan teriakan, makian dan pukulan.

Hal-hal itu, yang sudah terlupakan lama, ternyata meninggalkan bekas pada mental dan jiwa.

Aku bahagia menjadi seorang kakak tapi tidak senang diberi beban kewajiban menjadi orang tua, yang mana ibunya masih ada.

Bertahun setelahnya, ketika akhirnya memiliki anak pertama, dengan sadar bahwa ketika aku dan suami menikah dan MEMILIH untuk memiliki anak, maka akan ada tanggung jawab yang mengikuti sesudahnya. Orang tua TIDAK berkorban untuk anak. Anak TIDAK MEMINTA pengorbanan orang tua.
Ketika punya anak kedua, aku berjanji pada diri sendiri bahwa anak sulungku tidak perlu menjadi baby sitter adiknya. Adiknya adalah tanggung jawab penuhku dan suami sebagai orang tua. Anak sulungku jangan sampai terhimpit beban yang sama denganku. Aku ingin ia menikmati tiap waktu bertumbuh jiwanya dengan semestinya.

Lalu aku yang sekarang?
Aku masih tidak suka pekerjaan rumah tangga selain memasak. Syukur, suami tidak menuntut apa-apa. Baginya, aku bisa mengerjakan apa-apa yang membuatku bahagia dan tidak mengerjakan apa-apa yang membuatku tidak bahagia.
Sesekali ketika rumah sangat berantakan dan aku tidak sanggup membereskannya, kami bisa menyewa jasa pembersih rumah.
Anak-anak tetap diajarkan cara membereskan rumah, sebagai basic life skill, dan kami kedua orang tua bersama-sama membagi tanggung jawab membersihkan rumah sebagai tim.

Lingkaran setan bahwa "anak harusnya juga berkorban demi orang tua karena orang tua sudah berkorban untuk mereka" cukup sampai di aku saja. 


Komentar

Postingan Populer