Someone Who Stays To Watch Me Burn - Part 3 : Narcissist Wife

(Disclaimer) Tulisan ini diperlukan kebijaksanaan dan pikiran terbuka dari pembacanya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menolong dan membuka hati bagi siapapun yang berkaitan dengan penganiayaan terlebih pada anak-anak, baik pelaku, korban, tetangga, dan orang terdekat untuk mengambil langkah untuk menghentikannya. Siapa lagi yang peduli selain anda?
Hidup bersama ibu yang memiliki gangguan kepribadian narsisis seperti hidup di neraka, tapi bagaimana dengan sang ayah yang hidup dengan istrinya yang narsisis? Kehidupan Ayah saya tidak berbeda dengan kehidupan kami, anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga padahal bukan hanya seorang suami menganiaya istri dan anak-anaknya, tapi bisa sebaliknya. Ayah saya begitu menyayangi ibu, sehingga terus mencoba untuk tidak meninggalkannya, seburuk apapun perlakuan ibu saya. Ayah saya pun dituntut harus mengikuti semua keinginan ibu seburuk tuntutannya pada saya.

Tidak bisa dipungkiri, kekerasan psikis sedikit banyak mengubah temperamen Ayah saya. Ia begitu gampang marah. Begitupun saya. Saya dan Ayah saling berselisih pendapat satu sama lain, tapi kami akan damai secepat kami bermarah-marahan.
Hubungan saya dan ayah layaknya hubungan paling normal yang saya jalani. Saya pernah menceritakannya disini dan disini. Dengan ayahlah, saya bisa tertawa dan menyicipi kasih sayang yang seharusnya. Hubungan kami yang begitu dekat (walaupun juga saling bertengkar satu sama lain) membuat ibu cemburu. Cemburu dan narsisis? Seperti korek api dan sumbu meriam. Kami berdua pun menjadi terombang-ambing dengan emosi negatif dalam hubungan ayah dan putri. Namun begitu, saya memang tidak bisa menyingkirkan rasa sayang saya pada Ayah, meskipun semua hal-hal negatif yang diumbar-umbar ibu tentangnya. Karena apa? Karena Ayah tidak pernah sekalipun memaki saya. Satu kata pun. Semarah apapun ia.

** Dan itulah kenapa saya berusaha keras untuk tidak memaki putra-putra saya. Disini saya menyadari bahwa seorang anak selalu ingat perlakuan orang tuanya walaupun ia masih kecil. Ia tidak ingat, tapi ia merasakan! Saya sulit sekali untuk tidak melakukannya, dan jika terlanjur, saya berkali-kali meminta maaf. It is so hard! *peluk anak-anak*

Saya sadar kini, betapa besar lubang di hati Ayah saya selama beliau hidup. Tidak seperti saya yang mellow luar dalam, Ayah saya menyembunyikan kesedihan hatinya dalam diam dan kemarahan.
Ketika Ayah memutuskan pergi meninggalkan Ibu saya yang mengkhianati cintanya (mungkin Ayah sudah terlalu 'sepah' bagi Ibu) di situ saya harus berjuang sendiri. Kehidupan saya sudah terlalu penuh untuk memenuhi keinginan-keinginan Ibu, di saat itulah saya sadar, saya pun ingin punya masa depan.

Saya bangga memiliki Ayah saya. Meninggalkan Ibu saya adalah hal luar biasa yang ia lakukan untuk kehidupannya. Saya ingin melihat Ayah bahagia tanpa Ibu.
Sayangnya, Ayah saya meninggal dalam kesedihan yang dalam akan cintanya pada Ibu. Ia meninggal dalam pelukan saya, putri satu-satunya. Tugasnya sudah selesai, meninggalkan saya pada orang asing yang ia percayai, yang kini saya sebut sebagai suami. Saya berjanji pada suami saya, tidak akan meninggalkan suami saya dalam kesedihan seperti yang Ayah saya rasakan. Saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak menjadi seorang narsisistik!

Komentar

Posting Komentar

Your thoughts greatly appreciated! Share it with us! (^_^)
Nowadays, I've been have hard times to reply comments or blogwalking to your blog. So, thank you so much for visiting me here!

Postingan Populer